Makalah Perjuangan Politik Islam di Indonesia dari Masa Kemerdekaan hingga Reformasi
TRANSFORMASI CITA-CITA POLITIK ISLAM DI INDONESIA:
DARI PERJUANGAN SYARIAT ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA MENUJU PEMBENTUKAN MASYARAKAT MADANI BERDASAR NILAI-NILAI ISLAM
Oleh: Ari Putra Utama
ABSTRAK:
Makalah ini mengkaji tentang fenomena perubahan tujuan dan cita-cita dari partai dan organisasi politik Islam di Indonesia. Perjuangan partai Islam di awal kemerdekaan, berupa memperjuangkan Syariat Islam sebagai dasar negara yang dipelopori oleh Masyumi dan beberapa partai Islam lain, dianggap tidak lagi relevan saat ini. Penerimaan ‘paksa’ asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru, mematikan gerakan-gerakan politik Islam sekaligus organisasi dakwahnya. Selepas reformasi, gairah dakwah dan politik Islam itu hadir kembali. Namun, bukan untuk memperjuangkan cita-cita lama yang telah usang dan tidak relevan, melainkan cita-cita baru, yaitu mewujudkan masyarakat madani berdasar nilai-nilai Islam yang adil dan sejahtera. Dalam menggali data, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berdasar studi kepustakaan melalui literatur-literatur dan buku-buku yang relevan dengan topik yang dibahas.
Kata Kunci: Politik Islam; Syariat Islam; Masyarakat Madani;
Latar Belakang
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT yang bersifat syamil ‘menyeluruh’, kamil ‘sempurna’, dan mutakamil ‘menyempurnakan’, tidak ada satu pun sisi kehidupan yang tidak diatur dalam Islam, termasuk di dalamnya masalah politik atau yang dalam bahasa Arab disebut siyasah.[1] Dari pemahaman inilah, muncul beragam organisasi-organisasi politik Islam di dunia yang mendambakan terlaksananya Syariat Islam dalam lingkup negara secara menyeluruh.
Sebagian pengamat Barat dan penganut Marxist, seringkali menyebut kelompok umat Islam yang terjun ke politik dengan istilah “Islam Politik”.[2] Islam politik diartikan mereka sebagai upaya-upaya dari kaum Muslim untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sosial-politik dalam lingkup suatu negara-bangsa atau entitas politik lainnya, sebagai respon atas perubahan regional maupun global. Kemunculan Islam politik ditandai sejak runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan penguasaan wilayah Kekhalifahan dan dunia Arab oleh imperialis Barat. Selain itu, kegagalan rezim otoriter-sekuler dalam mewujudkan kesejahteraan dan stabilitas di beberapa negara Afrika Utara dan Timur Tengah mendorong munculnya gerakan oposisi yang dipelopori aktivis politik Islam.[3]
Di Indonesia sendiri, politik Islam mulai muncul sejak era pergerakan maupun revolusi kemerdekaan. Organisasi Jamiatul Khoir[4] dianggap sebagai organisasi awal yang membangkitkan semangat umat Islam untuk bersatu guna melawan penjajahan. Dilanjutkan dengan munculnya Sarekat Islam yang awalnya merupakan perkumpulan pedagang dan pengusaha Islam, lalu berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan. Muncul pula Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan Mathla’ul Anwar sebagai organisasi yang awalnya berbasis sosial-kebudayaan dan bersatu dalam satu partai di masa revolusi, yaitu Masyumi.[5] Meskipun dalam perkembangan selanjutnya, organisasi-organisasi ini berpisah dan membentuk identitasnya masing-masing.
Islam politik, termasuk di Indonesia, pada awalnya selalu mengutamakan penerapan prinsip, hukum, dan Syariat Islam dalam kehidupan sosial-politik. Bila mengambil kasus yang ada di Indonesia, bahkan sejak awal perumusan dasar negara dan UUD 1945 pun, telah muncul faksi Islam politik yang menginginkan hal tersebut. Terbukti dengan adanya Piagam Jakarta yang memuat kalimat penerapan Syariat Islam bagi para pemeluknya dalam dasar negara. Meskipun akhirnya dengan berbagai pertimbangan, kalimat itu diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjuangan menegakan syariat Islam sebagai dasar negara terus berlanjut hingga ke Sidang Konstituante, namun hal itu tidak pernah sepenuhnya terwujud. Di era Orde Baru pun, gerakan politik Islam dianggap sebagai ideologi kanan yang mengancam kedudukan penguasa dan menghambat pemerintah dalam menjalankan ajaran Pancasila yang ‘murni’, sehingga harus dipinggirkan atau setidaknya dilemahkan.
Munculnya era Reformasi menjadi babak baru perjuangan politik Islam. Namun, misi yang dibawa tidaklah sama dengan para pendahulunya di era kemerdekaan. Mayoritas tokoh-tokoh politik Islam di Indonesia saat ini, tidak lagi memaksakan formalisasi atas ajaran Islam dalam bentuk hukum, dasar negara, maupun kehidupan berlandaskan Syariat Islam. Mereka lebih cenderung menekankan pada substansivitas nilai-nilai Islam itu sendiri dalam kehidupan politik, sosial dan bernegara. Misalkan dalam contoh negara, mengenai nama, sistem, bentuk, dan simbol bolehlah beragam, tetapi yang terpenting isinya adalah menganut ajaran dan nilai Islam. Begitupun dalam masyarakat, lebih ditekankan membentuk masyarakat madani yang berdasarkan nilai-nilai substansif Islam, berupa pengakuan terhadap Tuhan, kesetaraan, keadilan, kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama, dibanding hal-hal yang terlihat simbolik semata.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan sejarah kepada pembaca, serta memiliki gambaran atas pergerakan politik Islam di Indonesia dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Makalah ini juga bertujuan untuk memberikan perspektif lain kepada pembaca, tentang perubahan tujuan mayoritas gerakan politik Islam Indonesia yang cenderung meninggalkan cita-cita lama, yaitu penerapan Syariat Islam dan pembentukan negara Islam menuju hal-hal yang lebih substansif, yaitu penerapan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat madani yang sejahtera, adil, dan berkemajuan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan abstrak dan latar belakang di atas, maka focus permasalahan dalam tulisan ini, yaitu:
1. Bagaimana perjuangan politik Islam guna mewujudkan Syariat Islam sebagai dasar negara pada era Orde Lama?
2. Bagaimana perkembangan politik Islam di masa Orde Baru?
3. Bagaimana proses peralihan orientasi kalangan Islam politik di Indonesia dari yang awalnya memperjuangkan penetapan Syariat Islam sebagai dasar dan hukum negara menuju pembentukan masyarakat madani yang berasaskan nilai-nilai Islam?
Landasan Teori
Islam politik (political Islam), dapat dilihat sebagai upaya kaum Muslim untuk menerapkan syariat Islam sebagai dasar kehidupan sosial-politik suatu bangsa dan negara.[6] Islam politik memiliki beragam variasi, mulai dari yang berkarakter moderat dalam hal-hal peribadatan serta progresif dalam aspek penerimaan terhadap sistem demokrasi dan mekanisme majority rules atau politik elektoral, kelompok yang fundamentalis dalam kehidupan bermasyarakat dan literal dalam memahami ayat-ayat suci namun masih menerima sistem politik modern semacam pemilihan umum, hingga kelompok-kelompok yang menggunakan jalur kekerasan sebagai bentuk perjuangam politiknya, termasuk cara-cara terorisme.[7]
Dalam hal ini, penulis hanya memfokuskan kajian pada kelompok Islam politik, baik berupa ormas maupun partai yang moderat dan mengakomodasi adanya negara bangsa (nation state) dalam lingkup demokrasi.
Sedangkan masyarakat madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasis pada: nilai-nilai, norma, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.
A. PERJUANGAN SYARIAT MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN
Sejak awal, Indonesia memang dibangun atas keragaman dan perbedaan. Bahkan, dalam perumusan dasar negara pun, bangsa ini dihadapkan pada perdebatan dan pertentangan di antara tokoh-tokoh nasionalnya. Membangun sebuah nilai bersama yang diterima oleh seluruh pihak dari beragam agama, etnis, dan suka bangsa, menjadi hal yang tidaklah mudah bagi bangsa ini. Terlebih setiap golongan memandang dasar negara terbaik adalah dasar negara yang bersumber dari agama ataupun falsafah hidupnya masing-masing.
Sejak awal Sidang BPUPKI yang membahas rancangan dasar negara, setidaknya sudah mulai muncul dua faksi besar di dalamnya. Faksi pertama mengusulkan dasar negara Islam guna membentuk negara Islam Indonesia. Faksi ini didukung oleh ahli dan tokoh-tokoh Islam terkemuka saat itu, semacam Ki Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakar, dsb. Faksi selanjutnya adalah kubu nasionalis yang menginginkan pemisahan agama dan politik. Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Soepomo termasuk dalam faksi ini.[8]
Perdebatan dan diskusi alot dalam sidang pembahasan rancangan negara, akhirnya usai dengan kompromi politik berupa Piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945.[9] Namun, tidak berhenti sampai di situ, ternyata banyak pihak yang mempertanyakan dan tidak bisa menerima seluruh isi dari Piagam Jakarta. Terutama pada bagian, “Ketuhanan dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Mayoritas pihak yang menolak beranggapan, kalimat tersebut dapat menjadi awal perpecahan bangsa dan memunculkan fanatisme terhadap agama tertentu sehingga mendiskreditkan agama lainnya.[10] Padahal, Indonesia adalah negara yang plural dan beragam. Akhirnya, dengan kompromi sekali lagi, bangsa Indonesia mendapatkan suatu rumusan dasar negara yang final, yaitu dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertamanya.[11]
Sebuah fakta menarik, bahwa seorang tokoh Islam dan mantan Ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo, awalnya menolak usulan digantinya redaksi sila pertama yang telah ada dalam Piagam Jakarta.[12] Beliau tidak menghendaki adanya perubahan kalimat apapun yang telah diputuskan dan dituangkan dalam Piagam Jakarta. Saking gigihnya pendirian Ki Bagus Hadikusumo, sampai-sampai Soekarno dan Hatta pun tidak berani bertemu langsung apalagi membujuk beliau untuk menyetujui usulan tersebut. Soekarno lalu menunjuk Kasman Singodimejo untuk melakukan dialog kepada Ki Bagus Hadikusumo guna melunakkan hatinya dengan menceritakan keadaan-keadaan genting yang sedang dihadapi bangsa ini. [13]
Akhir cerita, Ki Bagus Hadikusumo secara legowo, rela hati, dan berjiwa besar, menyetujui perubahan kalimat yang disengketakan itu. Dengan janji yang selalu diingat oleh beliau dari Soekarno, bahwa akan segera dibentuk MPR guna merancang konstitusi yang lebih mapan lagi setelah enam bulan ke depan sejak proklamasi. Dan saat itulah, kelompok Islam yang mengalah demi persatuan dan kesatuan bangsa pada awal kemerdekaan dapat menuntut haknya kembali.[14] Perubahan sila pertama, dianggap oleh sebagian umat dan tokoh Islam sebagai bentuk kekalahan. Mengingat, periode 6 bulan yang dijanjikan oleh Soekarno untuk membentuk MPR tidak pernah terwujud, apalagi membahas rancangan dasar negara yang mapan, sama sekali tidak pernah ada.[15]
Harapan kembali muncul ketika dibentuk Badan Konstituante era 1955-1959. Masyumi dan NU (yang sudah keluar dari Masyumi pada 1952)[16] menjadi partai pelopor dan pendukung utama dikembalikannya 7 kata yang hilang dalam dasar negara Indonesia. Namun sekali lagi, pil pahit harus diterima golongan Islam politik yang tidak berhasil untuk menggolkan dasar negara berdasar Islam tersebut. Hal ini karena kelompok nasionalis yang dikomandoi oleh PNI, PKI, dan lainnya memiliki kursi yang cukup besar di parlemen. Sehingga perdebatan alot dan tidak berkesudahan itu terus berlangsung. Perdebatan panjang inipun diakhiri dengan diterbitkannya Dekrit Presiden 1959 karena Konstituante dianggap tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak ada hasil konkret berupa dasar negara seperti yang diharapkan sebelumnya.[17] Munculnya Dekrit Presiden yang mengembalikan kepada UUD 1945, kembali mengubur cita-cita penerapan Syariat Islam di Indonesia. Gerakan politik Islam semakin terpuruk setelah partai Islam sebesar Masyumi dipaksa membubarkan diri oleh pemerintah Orde Lama[18] karena tokoh-tokohnya dituduh memiliki hubungan dengan pemberontakan-pemberontakan di Indonesia. Tokoh-tokoh penting Masyumi, semacam Buya Hamka, Syafrudin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, Prawoto Mangkusasmito, Isa Anshari, Kasman Singodimejo, Muhammad Roem, dan Yunan Nasution tidak luput dari kriminalisasi Orde Lama. Mereka dituduh kontra revolusi dan tidak setia terhadap Pancasila, tuduhan yang hampir sama seperti yang diberikan kepada PKI saat ini.[19]
B. POLITIK UMAT ISLAM ERA ORDE BARU
Naiknya pemerintah Orde Baru membuat banyak kalangan dan tokoh serta aktivis politik Islam bergembira. Mereka berharap besar, bahwa Orde Baru dapat menampung aspirasi umat Islam sekaligus cita-cita politik mereka. Soeharto dianggap bisa menjadi sosok yang berbeda dengan pendahulunya, Ir. Soekarno, terlebih saat masa Demokrasi Terpimpin yang terkesan otoriter dan “one man show”.
Tindakan awal Orde Baru yang membebaskan tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya ditangkap pada era Soekarno makin memberikan harapan besar, bahwa rehabilitasi Masyumi sebagai partai politik yang sah akan segera dilaksanakan. Oleh karena itu, sebuah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal Muslimin didirikan untuk mewujudkan harapan itu.
Harapan tinggallah harapan. Masyumi pada akhirnya, tidak pernah hadir kembali di pentas perpolitikan tanah air. Ketakutan-ketakutan era Orde Lama yang dialamatkan kepada Masyumi, berupa ketidaksetiaan mereka terhadap Pancasila dan UUD 1945, terus ditanamkan oleh pemerintah Orde Baru. Bahkan, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyamakan Masyumi sebagai ekstrim kanan, sebagaimana PKI adalah ekstrim kiri.[20] Tokoh-tokoh Masyumi pun tidak diberi keleluasaan untuk kembali terjun dalam politik praktis dan gerak-geriknya terkesan diawasi.[21]
Parmusi akhirnya dibentuk pemerintah Orde Baru sebagai wadah aspirasi politik umat Islam dan bentuk jawaban pemerintah atas permohonan rehabilitasi Masyumi yang ditolak sebelumnya.[22] Parmusi pada akhirnya, tidaklah merepresentasikan keinginan umat, namun hanya sebagai tangan kanan Orde Baru guna melanggengkan kekuasaan. Parmusi diawasi sangat ketat oleh pemerintah dan ABRI, bahkan hingga urusan rumah tangga partainya sekalipun.
Kebijakan pengekangan politik Islam era Orde Baru mencapai puncaknya ketika diterbitkannya UU No. 3 Tahun 1973 yang berisi tentang penyederhanaan/penggabungan (fusi) sembilan partai politik menjadi dua kelompok partai, yaitu “spiritual-material” (PPP dan PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar) pada Pemilu 1977.[23] Setelah itu, muncul aturan yang mencerabut gerakan Islam politik seakar-akarnya, yaitu penetapan UU No. 3 Tahun 1985 yang berisi tentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila.[24] Hal ini dapat dimaknai sebagai bentuk deideologisasi yang dilakukan oleh Orde Baru terhadap gerakan-gerakan politik Islam. Pemerintah melihat pada masa itu, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sebagai partai berbasis Islam, masih menganut Pancasila dan Islam sebagai ideologi sekaligus asas yang dianutnya. Maka dari itu, hadirlah kebijakan guna menetapkan Pancasila sebagai ideologi tunggal yang wajib diterima oleh seluruh partai politik dan organisasi massa. Dan yang lebih penting adalah haram hukumnya untuk diduakan, seperti yang diterapkan PPP.
Pada masa Orde Baru, tidak lagi terdengar suara tokoh politik dan aktivis Islam tentang pemberlakuan Syariat Islam dalam urusan publik. Jikapun ada, itu menjadi suara sumbang dan minor di luar sana. Pengekangan Islam politik yang dilakukan oleh rezim tampaknya telah berhasil. Ormas-ormas Islam pun yang awalnya menolak segala kebijakan Orde Baru, akhirnya mengalah. Dalam kebijakan asas tunggal misalnya, secara berkesinambungan, seluruh organisasi Islam mulai menyesuaikan diri dengan kehendak pemerintah. NU melalui Munas Situbondo mengatakan menerima Pancasila sebagai asas kehidupan sosial dan politik.[25] Disusul Muhammadiyah melalui Muktamar ke-41 di Surakarta tahun 1985 mengambil langkah yang serupa, yaitu menerima Pancasila sebagai asas organisasinya.[26] Namun dapat dilihat, penerimaan itu lebih terkesan semacam sikap pragmatis organisasi. Mengingat, organisasi yang tidak mendeklarasikan penerimaan terhadap asas tunggal akan dibubarkan dan dihapuskan dari bumi Indonesia oleh rezim. Contoh konkret keberingasan rezim adalah dibubarkannya organisasi Pelajar Islam Indonesia pada periode 1988.
C. TRANSFORMASI TUJUAN: MEMBENTUK MASYARAKAT MADANI
Setelah jatuhnya rezim Soeharto, gerakan politik Islam kembali mendapat angin segar. Partai-partai Islam kembali menampakkan dirinya dalam percaturan politik tanah air. Sebut saja, empat partai besar semacam PKS (mulanya PK), PAN, PKB, dan PPP yang merupakan representasi dari umat Islam yang diwakilinya. PKS mewakili kalangan Tarbiyah,[27] PAN dianggap sebagai anak ideologis Muhammadiyah,[28] begitupun PKB yang dianggap sebagai wadah kader-kader NU yang ingin terjun ke politik praktis.[29] Sedangkan PPP merupakan partai tradisional yang telah ada sejak era Orde Baru. Ormas-ormas Islampun bertebaran dan kian menjamur, bahkan jumlahnya sudah sulit untuk didata karena banyak yang tidak melaporkan organisasinya secara resmi ke pemerintah.
Namun, berbeda dengan pendahulu-pendahulunya, partai dan ormas Islam sejak awal reformasi seakan lebih lunak terkait penerapan Syariat Islam. Tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah di awal kemerdekaan yang begitu gigih memperjuangkan dasar negara Islam, tidak lagi diikuti oleh penerus-penerusnya. [30]Memang hal itu sudah jelas, sesuai dengan hasil Munas maupun Muktamar keduanya yang mengakui dan mengadopsi Pancasila sebagai asas organisasi mereka. Namun begitu, tidak dapat dipungkiri, bahwa masih ada sebagian kecil golongan ormas yang mencita-citakan adanya penerapan Syariat Islam, pembentukan negara Islam, pendirian Khilafah Islamiyah,[31] ataupun sebagainya. Tetapi secara umum, hampir mayoritas umat Islam Indonesia sudah menerima Pancasila secara utuh dan menyeluruh, hal itu direpresentasikan oleh dua ormas besar yang disebutkan di awal.
Hal yang sama berlaku pula pada partai-partai Islam. Mereka membuang jauh-jauh segala cita-cita atau bisa dibilang angan-angan masa lampau yang sudah tidak relevan lagi, yaitu penerapan Syariat Islam. PKB misalnya, mereka memilih untuk tidak mencantumkan asas dan ideologi Islam dengan menyatakan diri sebagai partai terbuka, walaupun dengan memperhatikan elemen kepartaiannya secara menyeluruh PKB tetap bisa diidentifikasi sebagai partai Islam. Hal ini tampaknya menunjukkan perkembangan artikulasi politik muslim yang berbeda dari generasi sebelumnya. Pada generasi terdahulu, simbolisasi Islam, pendirian negara Islam, ataupun menjadikan Islam sebagai dasar negara merupakan orientasi pokok, sedangkan pada generasi sekarang, khususnya di PKB, orientasi tersebut sudah ditinggalkan.[32] Sikap yang sama dipakai oleh PAN yang menyatakan diri sebagai partai nasionalis dan terbuka, meskipun pendiri utama partai adalah tokoh sentral Muhammadiyah.
PKS yang sampai saat ini masih diragukan tentang penerimaannya terhadap Pancasila pun, secara eksplisit menyatakan bahwa mereka mengakui Pancasila seutuhnya.[33] Hal ini dapat dimaklumi, mengingat ide Syariah maupun Khilafah sudah tidak lagi ‘seksi’, bahkan bagi umat Islam sekalipun. Berbeda dengan masa awal kemerdekaan, Orde Lama, maupun Orde Baru yang masyarakatnya cenderung terpolarisasi berdasarkan ideologi politik sektarian yang dianut, yaitu Islam, nasionalis, ataupun sosialis.
Sebuah konsep baru pun muncul dari para aktivis dan tokoh Islam modernis, guna mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah menciptakan masyarakat madani. Pengertian masyarakat madani menurut PKS dalam salah satu buku yang diterbitkannya: “Masyarakat Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbukadan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.[34]
Masyarakat madani dapat diartikan pula sebagai masyarakat yang ideal, berdiri diatas sikap-sikap: Kemandirian; Egaliterianisme; Kebebasan; Rasional; Menghargai individu berdasarkan prestasi; Penghormatan terhadap hukum. Pembentukan masyarakat yang memilik karakter semacam itulah yang dijadikan narasi kalangan politik Islam untuk diperjuangkan saat ini.
Pendekatan yang dilakukan oleh kalangan politik Islam tidak lagi melalui pendekatan oposisional-simbolistik, namun lebih menekankan pada pendekatan akomodatif-substansialistik. Kalangan Islam, baik dalam ranah politik maupun sosial, tidak lagi berbicara mengenai hal-hal yang berbau simbolik, misal berupa pemberlakuan syariat atau pembentukan negara Islam, namun lebih kepada memperjuangan nilai-nilai dan ruh Syariat Islam untuk masuk dan menjiwai undang-undang, peraturan dan norma-norma yang ada.[35]
KESIMPULAN
Politik Islam selalu menjadi salah satu kekuatan besar di kancah politik nasional. Sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini, tokoh-tokoh Islam silih berganti mengajukan gagasan-gagasan yang bernafaskan Islam, guna diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan. Di masa awal revolusi kemerdekaan, tokoh-tokoh Islam dengan gigih memperjuangan dasar negara Islam untuk dijadikan pedoman bagi rakyat Indonesia yang mayoritas adalah muslim. Penerapan Syariat Islam juga didengung-dengungkan dari masa awal pemerintahan Orde Lama hingga akhir keruntuhannya.
Gerakan politik Islam dan seluruh perangkat-perangkatnya mulai terpinggirkan di masa Orde Baru. Kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru yang begitu represif terhadap aktivis dakwah Islam, turut menghambat pergerakan dan penanaman nilai-nilai Islam kepada masyarakat luas. Rasanya sangat tidak mungkin memunculkan gagasan mengenai pemberlakuan Syariat Islam pada masa ini, karena rezim sangat paranoid dengan pemberontakan-pemberontakan yang hadir di masa lalu.
Arah angin mulai berubah, saat NU dan Muhammadiyah menyatakan penerimaan dan kesetiaannya terhadap Pancasila. Pernyataan sikap ini sontak mengubah konstelasi politik umat Islam di Indonesia. Menurut kedua ormas Islam besar di atas, pendekatan yang dilakukan oleh kalangan Islam tidak boleh lagi melalui pendekatan oposisional-simbolistik, namun lebih menekankan pada pendekatan akomodatif-substansialistik. Kalangan Islam, baik dalam ranah politik maupun sosial, tidak lagi berbicara mengenai hal-hal yang berbau simbolik, misal berupa pemberlakuan syariat atau pembentukan negara Islam, namun lebih kepada memperjuangan nilai-nilai dan ruh Syariat Islam untuk masuk dan menjiwai undang-undang, peraturan dan norma-norma yang ada.
Maka menurut hemat penulis, Islam politik akan tetap eksis di negeri ini dan menjadi corak tersendiri dalam kehidupan politik perpolitikan di Indonesia. Baik dalam bentuk partai-partai Islam maupun ormas-ormas yang mempunyai orientasi politik dalam setiap pergerakannya. Namun, untuk bisa tetap integral dengan konteks keindonesiaan, partai maupun ormas Islam dituntut untuk menerima cara berpikir kultural-substansialistik. Menerapkan masyarkat madani berdasar nilai-nilai Islam adalah salah satu solusi yang tepat bagi gerakan Islam politik. Melalui dakwah kultural dan dakwah struktural, para aktivis dan tokoh Islam dapat membangun dan menata kehidupan masyarakat yang tetap berlandaskan Islam dalam setiap aktivitasnya.
[1] Rais, Dhiauddin. (2001). Teori Politik Islam. Jakarta: Gema
Insani Press. hlm.5
[2] Kumar, Deepa. (2012). Islam Politik Sebuah Analisis Marxist edisi
Terjemahan. Jakarta: IndoProgress.
[3] Lebih jauh tentang Kebangkitan
Islam Politik, baca Kumar, Deppa. (2012).
Islam Politik Sebuah Analisis Marxist Edisi Terjemahan. Jakarta:
IndoProgress. Lihat bagian Bab Kebangkitan Islam Politik. hlm. 27 dan
seterusnya.
[4] Jamiatul Khair merupakan
organisasi Islam pertama yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam
masyarakat Islam Indonesia. Berdiri tahun 1905 yang awalnya bergerak di bidang
sosial, namun beberapa tokoh utamanya juga terjun di bidang politik.
[5] Setelah pemerintah mengeluarkan
maklumat, yaitu anjuran mendirikan partai politik, kalangan Islam menyambut
dengan antusias. Pada 7 November 1945, Majelis Syuro Muslimin Indonesia
didirikan. Lihat lebih jauh di Madiener, Remy. Partai Masjumi: Antara Godaan
Demokrasi dan Islam Integral. Jakarta:
Penerbit Mizan.
[6] Roy, Olivier. (1996). The Failure of Political Islam. Harvard
University Press.
[7] Hirschkind, C. (1997). Middle East
Report, 205. Middle East Studies Networks: The Politics of a Field.
hlm. 12-14.
[8] Ma’arif, Ahmad Syafii. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3ES. hlm. 104.
[9] Ma’arif, Ahmad Syafii. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3ES. hlm. 107-108.
[10] Keberatan muncul dari kalangan
non-Islam dan tokoh-tokoh lainnya. “Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap
agama lain [….] kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan...,” protes
Johannes Latuharhary, tokoh yang terang-terangan menolak kalimat tersebut,
dikutip dalam Piagam Jakarta 22 Juni (1981).
[11] Ma’arif, Ahmad Syafii. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3ES. hlm. 109
[12] Manatasi, Petrik. (Juni, 2017). Ki Bagus Hadikusumo, Pendukung Keras Piagam
Jakarta.
Diperoleh
dari https://tirto.id/ki-bagus-hadikusumo-pendukung-keras-piagam-jakarta-cq7q pada 5 Desember 2017.
[13] Republika Online. (Juni, 2016). Kasman
Singodimedjo, Pahlawan yang Terlupakan. Diakses melalui laman http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/16/06/19/o90i7i-kasman-singodimedjo-pahlawan-yang-terlupakan pada 1
Desember 2017.
[14] Tercantum dalam memoirnya Hidup
Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo. (1982). Jakarta: Bulan
Bintang.
[15] Ma’arif, Ahmad Syafii. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3ES. hlm. 109
[16] NU keluar dari Masyumi karena
menganggap tersisihnya peran Kiai NU dalam struktur jabatan partai dan tidak
tertampungnya aspirasi kalangan pesantren. Akhirnya,NU membentuk partai sendiri
pada tahun 1953. Lihat selengkapnya melalui laman NU Online. NU di Tengah Politik Masyumi http://www.nu.or.id/post/read/7633/nu-di-tengah-politik-masyumi
[17] Ma’arif, Ahmad Syafii. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3ES. hlm. 176.
[18] Pergeseran Kekuatan Partai
Nasionalis dan Islam 1955-2004, http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Artikel/089.%20Pergeseran%20Kekuatan%20Partai%20Nasionalis%20dan%20Islam.pdf.
Pergeseran Kekuatan Partai
Nasionalis dan Islam, diakses pada 1 Desember 2017.
[19] Muslim A., Zaini. (2013). Sikap Politik Soekarno Terhadap Masyumi
Tahun 1957 – 1960. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Semarang. hlm.77.
[20] Amir, Zaenal Abidin. (2003). Peta Islam Politik Pasca Soeharto.
Jakarta: Penerbit LP3ES.
[21] M.C. Ricklefs. (2005). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta.
hlm.578.
[22] Partai Muslimin Indonesia
didirikan sebagai wadah politik resmi kalangan Islam modernis menggantikan
peran Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi yang seharusnya diakomodasi di partai ini,
nyatanya tidak demikian, justru dilarang oleh rezim. Lihat Bawazir, Tohir.
2015. Jalan Tengah Demokrasi: antara Fundamentalisme dan Sekularisme. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 203.
[23] Kang, Young Soon. (2007). Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan
Nahdlatul Ulama. Jakarta: UI Press. hlm. 128.
[24] Mulkhan, Abdul Munir. (1989).
Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987. Jakarta:
Rajawali. hlm. 127.
[25] NU secara resmi kembali menjadi
organisasi sosial-keagamaan dalam Munas Situbondo 1984, sekaligus menyatakan
diri keluar dari politik praktis yang telah dilakoni sejak masa Orde Lama. Pada
saat yang sama, juga ditetapkan penerimaan NU terhadap Pancasila. Baca, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan
Nahdlatul Ulama. Hlm. 139
[26] Mulkhan, Abdul Munir. (1989).
Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987. Jakarta:
Rajawali. hlm. 127.
[27] Pendirian Partai Keadilan
(baca:PKS) dipelopori oleh kalangan mahasiswa dan Aktivis Dakwah Kampus serta
beberapa alumni pelajar Indonesia dari Timur Tengah. Baca, Burhanuddin Muhtadi.
(2012). Dilema PKS: Suara dan Syariah.
Jakarta: KPG. hlm. 32 dan seterusnya.
[28] PAN sebagai partai nasionalis,
memiliki kedekatan historis dengan kalangan Muhammadiyah. Mengingat, awal
berdirnya partai, tokoh Muhmmadiyah adalah pelopor utama PAN. Lihat, Sejarah PAN. http://www.pan.or.id/sejarah-pan/
[29] PKB didirikan oleh tokoh-tokoh
utama PBNU saat itu, termasuk Gus Dur. Lihat lebih lengkap, Kang, Young Soon. (2007).
Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan
Nahdlatul Ulama. Jakarta: UI Press. hlm. 220 dan seterusnya.
[30] Tokoh politik dari kalangan NU dan
Muhammadiyah sangat gigih memperjuangkan syariat Islam di parlemen sejak Orde
Lama.
[31] Hizbut Tahrir Indonesia adalah
organisasi massa Islam yang paling vocal menyuarakan Khilafah Islamiyah di
Indonesia. Organisasi ini telah dinyatakan terlarang dengan adanya UU Ormas
yang telah disahkan oleh DPR. Lebih jelas tentang ide Khilafah, baca, Hizbut
Tahrir Indonesia. (2006). Selamatkan
Indonesia dengan Syariah. Jakarta: HTI Press.
[32] Humaidi, Zuhri. (2010). Transfromasi Islam Politik Era Reformasi
(Studi terhadap Pendidikan Politik PKB Tahun 1998-2008 di Kabupaten Probolinggo
Jawa Timur). Tesis Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta. hlm. 5.
[33] Berdasarkan pernyataan beberapa
tokoh PKS di media cetak maupun massa. Lebih lanjut, baca, Burhanuddin Muhtadi.
(2012). Dilema PKS: Suara dan Syariah.
Jakarta: KPG.
[34] Majelis Pertimbangan Pusat PKS. (2008). Memperjuangkan Masyarakat Madani. Cet.I
. Jakarta: MPP PKS.
[35] Rahmat, M. Imdadun. (2008). Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus
ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Bag. Kesimpulan.