Berusaha memberikan manfaat kepada sesama makhluk, sebelum dipanggil pulang oleh Sang Khalik.

MAKALAH SEJARAH JERMAN LENGKAP

MAKALAH
SEJARAH JERMAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap negara memiliki sejarah panjangnya masing-masing sehingga terbentuk seperti sekarang dengan batas-batas negara yang mereka miliki dan komposisi penduduk seperti saat ini. Perang, bencana, invasi ataupun pembangunan mewarnai lanskap pembentukan identitas suatu negara Jerman menjadi salah satu negara yang unik dengan sejarahnya yang dapat ditelusuri sejak masa Romawi Kuno. Jerman yang dikenal sekarang adalah Jerman yang telah melalui berbagai proses pemisahan dan juga penyatuan sejak Abad Pertengahan hingga mampu menjadi salah satu agen yang mendukung unifikasi Eropa lewat peran aktifnya dalam Uni Eropa.


Berdasarkan paparan singkat diatas, kelompok kami merasa bahwa pembahasan mengenai sejarah terbentuknya negara Jerman menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Makalah ini akan membahas kondisi wilayah yang kini menjadi Jerman sejak berabad-abad yang lalu hingga mampu bersatu dibawah satu bendera yang sama. Diharapkan lewat membuat makalah ini, kelompok kami dapat mengetahui alur historis tentang pembentukan negara Jerman dan peristiwa-peristiwa besar apakah yang berpengaruh besar terhadap pembentukan identitas Jerman di era kontemporer.


1.2 Rumusan Masalah


Ada beberapa hal yang akan penulis coba jawab lewat makalah ini, diantaranya adalah:


1. Bagaimana alur historis sehingga Jerman dapat menjadi seperti sekarang?


2. Apa peristiwa-peristiwa yang memegang peranan penting dalam pembentukan negara Jerman?


3. Apa dampak alur historis tersebut terhadap formasi identitas masyarakat Jerman?


1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Selain merumuskan masalah diatas, beberapa hal patut untuk disebutkan sebagai bagian dari tujuan pembuatan makalah ini, yaitu:


1. Menjelaskan secara jelas dan urut mengenai sejarah pembentukan negara Jerman


2. Menyebutkan dan mendeskripsikan secara jelas peristiwa-peristiwa yang dianggap penting dalam sejarah pembentukan negara Jerman


3. Memperlihatkan dampak dari kejadian-kejadian sejarah tersebut terhadap Jerman masa kini



 

BAB II
PEMBAHASAN

Pada bagian ini, akan mulai dibahas secara mendetail perjalanan panjang menuju negara-bangsa Jerman kontemporer. Bagian ini akan dimulai dengan suku-suku yang menetap di wilayah modern Jerman yang berada di bawah kekuasaan bangsa Frank


2.1 Frankish Jerman


Perjalanan negara bangsa Jerrman dimulai dari bentuk masyarakat barbar yang mendiami wilayah modern Jerman secara sporadis di abad 1 sampai 5 Masehi. Kelompok-kelompok ini akhirnya disatukan oleh orang-orang Frank yang dipimpin oleh Merovech. Berbeda dengan suku barbar lainnya pada masa Romawi, suku bangsa Frank menganut agama Kristen dan dengan begitu memperkenalkan nilai-nilai dan ajaran Kristen kepada orang-orang Germanic yang sebelumnya menganut paganisme.


Wilayah Jerman kontemporer saat itu disebut dengan Austrasia atau yang berarti ‘wilayah timur’ dikarenakan pusat kerajaan Frank terletak di wilayah Belgia modern. Beberapa kerajaan barbar lain juga berdiri di wilayah Jerman modern yang pada akhirnya akan menjdi wilayah taklukan Frank seperti Swabia, Bavaria, Saxony, dan sebagainya. Puncak kejayaan kerajaan Frank ini adalah saat dipimpin dibawah Charles yang Agung atau Charlemagne yang berkuasa dari tahun 774-814. Kerajaan Frank memiliki hubungan yang akrab dengan Gereja Katolik Roma dan lewat hubungan inilah akan muncul apa yang dikenal sebagai Kekaisaran Romawi Suci. Salah satu peristiwa yang menandakan kedekatan hubungan ini adalah saat Paus Leo III memberikan gelar kaisar kepada Charlemagne pada tahun 800 berkat bantuan yang diberikan oleh Charlemagne untuk menyelamatkan Paus dari serangan orang-orang barbar dari Italia utara (Barraclough, 1976). Namun Charlemagne tidak ingin didikte oleh Gereja Katolik Roma sehingga ia memindahkan ibukotanya ke Aachen yang berada di sisi barat laut Jerman modern, jauh dari Roma dan berada tepat di tengah-tengah wilayah kekuasaannya yang membentang dari Prancis sampai ujung timur Jerman modern. Setelah kematiannya, ia digantikan oleh anakya yang bernama Louis. Sudah menjadi hal yang lumrah sejak zaman Merovich bahwa raja-raja Frank sering membagi-bagikan wilayahnya secara rata terhadap anak-anaknya namun kematian dua kakaknya pada pertempuran yang berlangsung tahun 810 dan 811 menyebabkan Louis menjadi penguasa tunggal sehingga wilayah kekuasaan Frank tetap satu dan tidak terbagi-bagi. Baru setelah kematian Louis di tahun 840, wilayah Frank terbagi menjadi 3 diantara anak-anaknya dan pembagian wilayah ini ternyata akan berdampak besar pada era modern.


2.2 Jerman Abad Pertengahan


Terbaginya wilayah Frank ke dalam tiga bagian memecahkan konsolidasi yang telah dibangun yang membentang dari Prancis sampai Jerman, sesuatu yang baru bisa diulangi lagi di era Napoleon. Namun disaat bersamaan pembagian ini berpengaruh terhadap bentuk negara-bangsa di Eropa karena batas-batas ini tidak jauh berbeda dengan batas negara-bangsa modern Eropa. Sejarah Jerman menjadi sangat rumit pada periode ini dikarenakan banyak muncul baden-baden (semacam provinsi) yang memiliki otonomi sendiri walaupun berada di bawah naungan Kekaisaran Romawi Suci. Dua fitur utama yang menjadi penanda Abad Pertengahan di Jerman adalah pendirian Kekaisaran Romawi Suci dan juga keberadaan Liga Hansa yang akan dibahas pada bagian berikut ini


2.2.1 Kekaisaran Romawi Suci


Walaupun Charlemagne sudah didapuk menjadi kaisar, namun istilah Kekaisaran Romawi Suci baru benar-benar secara formal dipakai saat Otto yang Agung naik takhta pada tahun 962 (Schulman, 2002). Saat itu ia diberikan gelar oleh Paus John XII di Aachen. Sifat ekspansionis Otto mendorong dirinya untuk menguasai seluruh wilayah Italia dan juga Gereja Katolik Roma, memunculkan hubungan asimetris antara kerajaan dan gereja dengan gereja berada dalam posisi subordinat.


Politik feodal dan juga vasal menjadi hal yang umum pada Abad Pertengahan dan tidak jarang, pangeran-pangeran yang berkuasa di suatu daerah tidak memiliki visi yang sama dengan raja ataupun kaisar yang menjadi penguasa pusat. Selain itu, banyaknya vasal membuat Kepausan di Italia juga tidak memiliki kontrol yang penuh terhadap wilayah-wilayah ini sehingga tidak jarang banyak pangeran yang mengambil kebijakan sekuler agar tidak diatur oleh Gereja. Bentuk masyarakat yang rumit dibawah Kekaisaran Romawi Suci banyak menimbulkan konflik, baik antar baden, kelas, ataupun antar pangeran. Bahkan Kekaisaran Romawi Suci sempat berada dalam posisi vacuum of power selama beberapa periode setelah meninggalnya Frederick II dan pangeran antar baden sempat berebut kekuasaan dan juga menyuap Paus agar mendapuk mereka menjadi Kaisar berikutnya. Pada akhirnya, di masa kepemimpinan Charles IV, dibuatlah suatu peraturan yang mengharuskan kaisar berikutnya bagi Kekaisaran Romawi Suci dipilih dan disetujui oleh sekelompok elektor yang terdiri dari 4 elektor sekuler (Raja Bohemia, Count Palatine dari Rhine, Duke dari Saxon dan Margrave dari Brandenburg) dan 3 elektor spiritual yang berasal dari kota-kota religius terbesar pada saat itu (Uskup Agung Mainz, Trier dan Cologne) (Bryce, 2003). Peraturan ini disebut sebagai Golden Bull 1356.


2.2.2 Liga Hansa


Ekspansi Kekaisaran Romawi Suci juga diikuti dengan munculnya pusat-pusat perdagangan. Kota-kota dagang muncul seiring dengan semakin hidupnya perekonomian di Eropa bagian utara saat itu. Untuk mengatur perdagangan agar menguntungkan semua pihak, kota-kota dagang ini membentuk suatu kerjasama dalam bentuk persekutuan yang fungsinya adalah untuk melindungi interest ekonomi serta diplomatic privileges yang bisa didapat apabila kota dari pedagang tersebut juga merupakan anggota dari Liga Hansa. Kata Hansa sendiri berarti konvoi dalam bahasa Jerman dan salah satu alasan pendiriannya juga adalah untuk melindungi konvoi pedagang dari serangan bajak laut. Kerjasama ini menjadi salah satu kerjasama ekonomi yang bersifat transnasional pertama yang ada di dunia, dengan anggota-anggota terdiri dari berbagai kota yang berada di sekitar Laut Baltik yang berada dibawah kekuasaan kerajaan yang berbeda.


2.3 Reformasi Gereja, Perang 30 Tahun dan Persaingan Antar Baden


Reformasi gereja adalah gerakan yang bertujuan untuk mereformasi kepercayaan, doktrin, dan praktek-praktek keagamaan dalam Gereja Katolik Roma. Reformasi gereja dilatarbelakangi oleh beragam kondisi sosial-keagamaan yang terjadi di Eropa pada saat itu, di antaranya adalah adanya krisis moral yang besar di dalam tubuh Gereja Katolik Roma, nasionalisme yang semakin berkembang di dataran Eropa, lahirnya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Gereja dari kalangan internal Gereja itu sendiri, dan semakin berkembangnya tradisi intelektual dan iklim kebebasan di Eropa. Selain keempat faktor itu, masih ada satu faktor lain, yaitu terjadinya ketidakpuasan dan kekacauan dalam bidang ekonomi (Kristiyanto, 2004).


Gerakan reformasi Protestan ditandai dengan peristiwa pemakuan (penempelan) 95 dalil Martin Luther di depan pintu Gereja Wittenburg, Jerman. Pada dasarnya, 95 dalil itu berisi kepercayaan, doktrin, dan praktek dalam Gereja Roma yang menurut Luther mendesak untuk direformasi. Di dalam 95 dalil itu, terdapat daftar kebobrokan dan dekadensi moral pejabat-pejabat Gereja dari imam, uskup, kardinal, sampai Paus. Kebobrokan itu di antaranya adalah praktek Simoni (membayar sejumlah uang kepada petinggi Gereja untuk mendapatkan posisi atau jabatan tertentu dalam Gereja), penyalahgunaan kekuasaan, praktek korupsi, dan gaya hidup hedonis kalangan Gereja.


Setelah menempelkan dalil itu, Luther mendekati para pemimpin Gereja yang kompeten dan mendesak mereka untuk mengadakan pembaruan. Gereja menolak dan mendesak Luther untuk mencabut kembali dalil-dalil itu. Luther bergeming. Ia tetap menyebarkan dalil-dalilnya secara pribadi. Mesin-mesin cetak di Nurenburg, Leipzig, dan Basel mempercepat penyebarluasan ide reformasi Luther.


Paus Leo X, pada bulan Juni 1520, melalui surat ketetapan berjudul Exsurge Domine berharap agar Luther mencabut apa yang disebutnya sebagai ke-41 kesalahan Gereja, sebagian dari ke-95 dalilnya, dan tulisan-tulisan dan ucapan-ucapan yang dianggap berasal dari Luther. Kaisar Charles V memanggil Luther ke Sidang Umum Kekaisaran Jerman di Worms, untuk mempertanggung jawabkan dalil-dalil yang dianggap menyesatkan serta merongrong gereja. Keselamatan Luther pun sempat terancam selama beberapa saat, sebelum datangnya perlindungan dari Pangeran Frederich III, penguasa Saxony.


Gagasan reformasi yang dipelopori Luther dalam waktu singkat mampu berkembang berkat keputusan The Diet of Speyer I (1526), yang berisi pembatalan sementara Wormser Edikt pada tahun 1521 serta memberi kelonggaran kepada kaum reformator untuk menyebarluaskan ajaran-ajarannya. Gerakan reformasi menyebar bukan hanya di wilayah Jerman, namun juga ke Denmark, negara Skandanavia, dan wilayah Semenanjung Baltik. Di kemudian hari, Reformasi merambat pula ke wilayah Swiss yang berbahasa Jerman dan Prancis, yaitu Zurich dan Jenewa. Prancis, Inggris, Skotlandia, Swedia, Belanda, Polandia, Hungaria, dan Transilvania pun kemudian ikut menyambut gagasan para reformator.


Pada tanggal 19 April 1529, para anggota sidang yang merupakan pendukung gerakan Reformasi ajaran-ajaran Luther, yang terdiri dari 10 Pangeran dan wakil dari 14 kota otonom, mengajukan petisi mengecam pembatalan hasil The Diet of Speyer I yang diganti dengan The Diet of Speyer II, yang intinya melarang segala aktivitas gerakan Reformasi. Menurut mereka, ketetapan Diet II bertentangan dengan Firman Tuhan, suara hati, serta keputusan Diet I 1526. Protes yang mereka lakukan kemudian hari dikenal atau melahirkan istilah “Protestanisme”, yang digunakan sampai hari ini sebagai nama gerakan keagamaan ini.


Gerakan Protestanisme ini akhirnya berujung pada pecahnya perang yang disebut Perang 30 Tahun. Kekacauan terjadi dimana-mana dengan korban dari sisi Katolik dan Protestan yang sama banyaknya. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan sementara para pangeran saling berebut kekuasaan dan menyatakan perang dengan baden lain yang memegang kepercayaan yang berbeda. Perang yang tidak ada hentinya ini akhirnya dapat berakhir ketika seluruh aktor dalam perang ini berkumpul dan menandatangi suatu perjanjian yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Westphalia pada tahun 1648.. Perang Tiga Puluh Tahun memberikan banyak dampak kepada negara-negara di Eropa, tidak hanya Jerman. Pasca Perang Tiga Puluh Tahun, Jerman mengalami penurunan jumlah populasi penduduknya, walaupun tidak sebanyak saat terkena wabah pes, kerugian pada aspek pertanian sekaligus industri (Lagasse, 2012). Selain Jerman, negara-negara lain di Eropa juga mengalami kerugian dalam bidang ekonomi, karena putusnya jalur perdagangan selama hampir tiga puluh tahun (Anon, 2015). Perang Tiga Puluh Tahun ini juga mengakibatkan terjadinya devaluasi uang di seluruh Eropa.


Lebih lanjut, Perjanjian Westphalia ini dianggap sebagai awal dari sistem negara modern. Joshua S. Goldstein (2005) dalam bukunya yang berjudul International Relations menjelaskan, bahwa perjanjian Westphalia telah memperkenalkan sistem negara yang merdeka dan berdaulat yang kemudian berangsur-angsur membentuk sistem hubungan internasional yang dikenal saat ini.


2.4 Prusia dan Konfederasi Jerman


Kemunculan Prusia dalam peta perpolitikan Jerman dimulai saat wilayah yang terletak di tepi timur Laut Baltik ini diwariskan kepada Dinasti Hohenzollern di Berlin yang menguasai baden Bradenburg. Saat itu, Jerman baru saja memasuki fase Perang 30 Tahun dan letaknya yang jauh membuat Prusia cukup stabil sehingga saat Perjanjian Westphalia ditandatangani dan baden-baden lain sedang membangun ulang wilayahnya, Prusia yang relatif damai berhasil menyokong Bradenburg dan menjadi salah satu aktor berpengaruh pada Jerman abad ke-17.


Keunggulan Prusia terletak pada militernya yang cakap dan sangat terstruktur dan hal ini terbukti dibawah kepemimpinan Frederick William I (1713-1740) dan Frederick II yang naik takhta pada 1740. Pasukan Prusia terbukti mampu memenangkan banyak pertempuran melawan kerajaan-kerajaan seperti Austria-Hungaria, Rusia dan juga serangan baden lain (Showalter, 1991). Bahkan kecakapan pasukan ini pun diakui oleh tokoh Revolusi Prancis, Mirabeau, yang menyebut bahwa Prusia bukanlah sebuah negara dengan pasukan, melainkah sebuah pasukan yang memiliki negara.


Namun Prusia mengalami kekalahan telak saat mencoba untuk menahan gempuran pasukan Napoleon dan berdasarkan Perjanjian Tilsit, banyak mengalami kerugian, mulai dari hilangnya wilayah sampai pembayaran biaya perang (Clark, . Prusia pun menjadi satelit dari Kekaisaran Prancis sebelum Napoleon akhirnya kalah dan disaat itulah Prusia kembali menjadi aktor dominan dengan bergabung untuk mengalahkan Napoleon di Perang Waterloo. Tidak validnya lagi batas-batas sebelum invasi Napoleon diakibatkan tiap baden berusaha meluaskan wilayahnya membuat baden-baden berbahasa Jerman akhirnya bersatu dan membentuk Konfederasi Jerman.


Konfederasi Jerman merupakan asosiasi dari 39 German states yang dibentuk berdasarkan persetujuan di Kongres Wina 1815 yang merupakan kelanjutan dari perjanjian perdamaian Paris 1814 pasca invas Napoleon ke berbagai penjuru Eropa (Heeren, 1879). Konfederasi ini dianggap sebagai ‘pengisi’ dari kekosongan kekuasaan setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi Suci namun konfederasi ini juga dianggap lemah dikarenakan hanya menjadi alat dari baden yang lebih besar. Konfederasi ini bahkan sempat terpecah sebelum disatukan kembali pada tahun 1850 namun kehancuran konfederasi memang hanya tinggal menunggu waktu sejak saat itu. Kemenangan pasukan Prusia atas Kekaisaran Austria di tahun 1866 membuat Prusia menjadi baden yang paling dominan dan menjadi penguasa inheren seluruh baden lainnya. Beberapa baden di wilayah selatan tetap merdeka namun memutuskan untuk bergabung dengan Prusia sebagai aksi balas jasa setelah Prusia berhasil menghentikan Napoleon III menginvasi Germanic state pada Perang Franco-Prusia dan akhirnya terbentuklah apa yang disebut sebagai Kekaisaran Jerman pada tahun 1871 (Heeren, 1879)


2.5 Jerman Pra dan Pasca Perang Dunia I


Jerman menjadi aktor yang aktif dalam peta perpolitikan Eropa sejak disatukan dibawah satu bendera Kekaisaran Jerman. Melemahnya Prancis setelah jatuhnya Napoleon Bonaparte dan juga meredanya ketegangan internal membuat Kekaisaran Jerman juga ikut serta dalam usaha imperialisme di berbagai belahan dunia. Jerman juga dengan kekuatan militernya membangun banyak pabrik senjata dan pada penghujung abad ke-19, memiliki stok persenjataan yang dapat menyaingi Inggris Raya. Bagian ini akan membahas mengenai sepak terjang Kekaisaran Jerman sampai digantikannya ia dengan Republik Weimar pasca Perang Dunia 1


2.5.1 Kekaisaran Jerman


Kekaisaran Jerman dimulai dari tahun 1871 dengan Kaisar William I sebagai kaisar pertama yang naik takhta di Versailles. Saat itu ia dibantu dengan Kanselir yang dianggap sebagai salah satu pemimpin terbaik Jerman, Otto von Bismarck. Ia merupakan diplomat ulung yang mampu memunculkan rasa kebanggaan sebagai ‘satu Jerman’ dan juga menjaga perdamaian diplomasi antar kerajaan Eropa pada masa yang termasuk relatif damai dalam sejarah Eropa selama berabad-abad. Kekaisaran Jerman memiliki hubungan yang baik terutama dengan Kerajaan Inggris, terutama dengan pernikahan kerajaan antara Pangeran Frederick III dengan Putri Victoria yang merupakan anak Ratu Victoria. Frederick III naik menggantikan ayahnya namun belum 100 hari berkuasa, ia meninggal akibat penyakit dan digantikan oleh anaknya Wilhelm II, yang malah berpisah dengan Otto von Bismarck dikarenakan adanya ketidaksepahaman dalam berbagai hal. Berbagai keputusan diplomatik yang buruk dan kesalahan pembuatan kebijakan domestik malah mengantarkan Kekaisaran Jerman pada Perang Dunia I


2.5.2 Republik Weimar


Setelah berakhirnya Perang Dunia dengan kekalahan pihak Triple Alliance kepada Triple Entente, ditandatangani Perjanjian Versailles (1919) adalah akhir perang yang sesungguhnya, perjanjian ini berisi perjanjian damai yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia I antara Sekutu dan Kekaisaran Jerman. Setelah enam bulan negosiasi melalui Konferensi Perdamaian Paris, perjanjian ini akhirnya ditandatangani sebagai tindak lanjut dari perlucutan senjata, perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 11 November 1918 di Compiègne Forest, Versailes, Paris.




Perjanjian Versailles adalah perjanjian damai yang dengan secara resmi mengakhiri Perang Dunia I. Perjanjian tersebut berisikan syarat-syarat yang sangat merugikan Jerman, Kekuatan militer Jerman dibatasi dan daerah daerah koloni Jerman pun diserahkan kepada beberapa negara. Oleh karena perjanjian yang sangat merugikan pihak Jerman, maka perekonomian di Jerman pun mengalami krisis. Depresi akibat dari perang tersebut mewabah ke berbagai negara di belahan dunia. Sehingga memunculkan banyaknya politik ekstrem di berbagai dunia.


Setelah ditanda tangani perjanjian tersebut, Kaisar Jerman Wilhelm II diturunkan tahtanya dan saat itu juga bentuk pemerintahannya diganti menjadi Republik Federai yang beranggotakan 19 state. yangmana sebelumnya merupakan otokrasi militer. Jerman menjadi Republik Weimar tepatnya pada tanggal 9 November 1918. Pemerintahan baru ini diadakan melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan pada bulan Januari 1919 di Kota Weimar dan langsung memilih Freidrich Ebert sebagai presidennya. Di Kota Weimar ini sendiri diadakan pemilunya karena di ibukota. Berlin sedang terjadi pergolakan politik yang sangat hebat, terutama dari kubu komunis yang ingin mengambil alih Jerman, sehingga kondisi tersebut tidak memungkinkan untuk melakukan pemilu. Meskipun system pemerintahannya yaitu system parlementer, tetapi kedudukan presiden sangatlah kuat, bahkan presiden mempunyai hak untuk membubarkan cabinet dan hak untuk memveto keputusan dewan. Partai Weimar sendiri sangatlah kuat mendominasi..


Pada tahun-tahun awal Republik Weimar mengalami masa-masa sulitnya, banyaknya pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok sayap kiri ditambahlagi kondisi perekonomiannya yang sangat kacau setelah kekalahan mereka di Perang Dunia I. Dengan kondisi yang demikian banyak masyarakat yang terbujuk oleh golongan sayapk iri tersebut sehingga perlawanan terhadap pemerintah pun semakin menjadi-jadi, hingga puncaknya pada bulan Januari 1919, terjadi pemberontakan sebanyak 50.000 oleh golongan yang menamakannya Spartactics, meskipun pada akhirnya dapat ditumpas oleh bantuan Freikorps.


Bukan hanya golongan sayap kiri saja, tetapi sayap kanan yang mana beraliran Nasionalis pun sama-sama membenci pemerintah karena kebijakan mereka yang menandatangani Perjanjian Versailles. Golongan sayap kanan ini sebenarnya merupakan ancaman yang lebih besar karena mereka memiliki basis dukungan yang kokoh seperti para birokrat, pengusaha, militer, dan pers. Hingga pada puncaknya di Maret 1920, terjadi pemberontakan oleh Gerakan Kapp Putsch yang dipimpin oleh Dr. Wolfgang Kapp, mereka mencoba membrigade dan mendudukan agar Kaisar Jerman kembali ke tahta nya kembali.


Pada tahun 1923 setelah Gustav Stresemann menjadi kanselir, Republik Weimar menjadi lebih baik dibandingkan pada masa-masa sulit sebelumnya. Kepemimpinan beliau membuat masyarakat menjadi lebih sejahtera, hubungan politik dengan luar negeri pun menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya serta kebudayaan pun berkembang pada masa itu. Tetapi hal tersebut tidak bertahan lama, pada tahun 1929 setelah kematian Stresemann, republik ini mengalami keruntuhan yangmana penyebab utamanya adalah keruntuhannya Saham Wall Street di Amerika sedangkan Republik Weimar ini sangat bergantung pada bantuan luar negeri. Lalu setelahnya dengan adanya pemilu parlemen menghasilkan adanya kekuatan baru yaitu golongan ultra kanan Nazi, Partai Nazi semakin kuat dikarenakan masyarakat pun sudah tidak percaya terhadap kepemimpinannya karena krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami Republik Weimar, hingga pada akhirnya di tahun 1933 terpilihlah kanselir Jerman baru yaitu Adolf Hitler yang mengganti system republic parlementer menjadi diktator fasis.


2.6 Jerman pada Perang Dunia II dan Perang Dingin


Perang menimbulkan banyak kerugian yang dapat dilihat dari sudut pandang manapun. Seperti pembahasan mengenai perang dunia II yang melibatkan banyak negara hingga mengalami kerugian, baik dalam segi ekonomi dan sosial-politik negara. Secara historis, Jerman adalah negara yang pertama kali menyulut kondisi perang dunia II (Firman, 2017). Naiknya Adlof Hitler dari Partai Nazi menjadi kanselir Jerman pada 1934 membuat Jerman menjadi “negara polisi” yang menggelorakan semangan Pan-Jermanisme. Jerman menyulut perang dunia II dengan menyerang Polandia pada 1 September 1939. Negara Inggris dan Perancis meresponsnya dengan pernyataan perang terhadap Jerman. Tercatat bahwa perang dunia II mengakibatkan kematian setidaknya 55 juta orang di seluruh dunia.


Selama enam tahun yang sangat berpengaruh, mulai dari tahun awal rezim kekuasaannya pada 1933 hingga pecahnya perang dunia II pada tahun 1939, Adolf Hitler sebagai seorang diktator membentuk Jerman sebagai kekuatan militer terkuat di Eropa (Sulzberger, 1985). Hitler membangun program militer yang telah dimulai pada tahun 1921 dengan menempatkan rakyat sipil ke dalam jajaran militer. Ia juga menggulingkan sistem pemerintahan yang demokratis dan menargetkan populasi masyarakat Yahudi sebagai bagian dari propaganda kekuasaannya. Jerman menjadi negara dengan kepemimpinan partai totalitarian yang dipimpin oleh partai Nazi.


Terjadinya perang dunia kedua merupakan pertistiwa yang tidak dapat dipisahkan dari peristiwa yang melatarbelakanginya, yaitu perang dunia pertama. Salah satu dampak terjadinya perang pertama adalah adanya perjanjian versailles. Perjanjian ini merupakan bentuk dari perjanjian perdamaian yang mengakhiri peristiwa perang dunia I antara sekutu dan kekaisaran Jerman. Di dalam perjanjian ini berisi pengaturan bahwa Jerman bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi hasil dari terjadinya perang dunia pertama, dengan melakukan perbaikan terhadap negara-negara yang dirugikan (Weinberg, 1996). Perjanjian tersebut menghasilkan dampak kerugian yang dialami Jerman terutama di dalam sektor geopolitk dan militer. Namun, Partai Nazi yang dipimpin oleh Hitler berupaya untuk membalas kerugian dan pembatasan yang dialami oleh Jerman tersebut dengan kekuatan militer yang dibangunnya dan menolak Perjanjian Versailles (Zalampas, 1989).


Melalui buku yang ditulis oleh Overy (2014), dapat dilihat secara sederhana bahwa peran Hitler sangat besar sebagai seseorang yang menjadi faktor pemicu terjadinya perang dunia kedua. Hitler sebagai Kanselir Jerman menjadi seorang diktator yang menentukan keputusan dalam penyerangan Polandia pada tahun 1939 dan menginisiasi terjadinya peristiwa Holocaust pada tahun 1941. Sampai berakhirnya perang dunia kedua tercatat sebagai peristiwa ketika dirinya kemudian menyerah dan memutuskan untuk melakukan bunuh diri dalam pelariannya di Berlin pada April tahun 1945 (Overy, 2014). Para sejarawan juga melihat bahwa beberapa argumen penting menujukan peran Jerman pada perang dunia kedua berpengaruh terhadap kondisi politik internasional yang kemudian berdampak pada terjadinya peristiwa perang dingin atau perang ideologis oleh Blok Barat dan Blok Timur.


Perang dunia kedua usai dengan kemenangan blok Sekutu yang terdiri dari negara Amerika Serikat, Uni Soviet, Perancis dan Inggris. Akan tetapi, menurut buku yang ditulis oleh McMahon, R. J. (2003), usainya perang dunia kedua menyisakan pertentangan dualitas ideologi yang diwakili oleh Amerika Serikat sebagai negara dengan paham ideologi kapitalis dan Uni Soviet sebagai negara dengan paham ideologi Sosialis-Marxis. Pertentangan dua ideologi ini kemudian disebut sebagai peristiwa perang dingin. Demikian Jerman pun mengalami implikasi yang cukup besar oleh terjadinya perang dingin tersebut, yaitu kondisi ekonomi politiknya menjadi terbagi antara Jerman Barat dan Jerman Timur (McMahon, 2003). Peristiwa besar yang terjadi pada negara Jerman atas peristiwa ini adalah dibangunnya tembok Berlin yang menjadi simbol pembatas yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur.


Pembangunan tembok Berlin menjadi simbol pemisah antara kondisi ekonomi politik Jerman Timur dengan Jerman Barat. Wilayah Jerman Timur menjalankan ideologi sosialis-komunis yang diturunkan oleh negara Uni Soviet dan membatasi pemerintahannya terhadap pengaruh ideologi politik negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika. Hingga akhirnya, pada 9 November tahun 1989, terjadi perubahan haluan politik pada pemerintahan Uni Soviet dan menghasilkan dibukanya pemisah tembok Berlin dan menjadi awal bagi terbentuknya persatuan pemerintahan Jerman yang disebut sebagai reunifikasi Jerman pada 3 Oktober 1990 (McMahon, 2003).


2.7 Pasca Reunifikasi Jerman


2.7.1 Pasca Reunifikasi dalam Aspek Ekonomi


Pasca reunifikasi, Jerman menerima berbagai konsekuensi dan masalah yang dihadapi. Penggabungan Jerman Barat dan Jerman Timur mencakupi seluruh aspek kehidupan politik, social dan ekonomi. Pemerintah Jerman Barat ingin mengoptimalkan dan memodernisasi perekonomian Jerman Timur dengan program Cooperative Enterprise for the Uprising in the East, dan bekerja sama dengan agen Trusteeship, namun bukannya menambah pemasukan pemerintahan Jerman Barat, justru rugi sebesar 250 miliar marks (mata uang Jerman saat itu), belum lagi Trusteeship kesuitan dalam menjual barangnya di Jerman Timur (Biesinger 2006). Hal tersebut memperlihatkan adanya usaha Jerman Barat dalam mengembalikan perekonomian Jerman Timur tanpa mengindahkan perbedaan kebudayaan yang berpengaruh pada aspek ekonomi.


Keputusan pemerintah Jerman Barat untuk menyatukan kedua wilayah ini dapat dikatakan berat. Harga yang harus dibayarkan juga besar, sekitar 1.4 trilium marks (mata uang Jerman saat itu) (wolf and Akramov 2005). Keputusan pemerintah Jerman Barat tersebut terlihat adanya indikasi mimpi besar untuk membangun satu kesatuan Jerman yang kuat. Tidak hanya itu, hal tersebut juga menunjukan indikasi ambisi pemerintah Jerman Barat dalam kenaikan ekonomi, melihat Jerman Timur menguasai sekitar 8-9% dari Jerman Barat (wolf and Akramov 2005). Melihat adanya indikasi tersebut dapat dikatakan impian pemerintah Jerman Barat harus melewati jerih payah yang kuat.


Pemerintah Jerman Barat memberikan berbagai solusi untuk persoalan ekonomi pasca reunifikasi. Ditahun 1994, Federal mengalami deficit dan kemudian ditambah dengan angka pengangguran di Jerman Timur mencapai 15%. 1992 pemerintah Jerman Barat mengusungan solidarity pact yang memberikan pemasukan sekitar 100 juta marks dari kenaikan pajak yang diberikan (Biesinger 2006). Hal tesebut kemudian diikuti dengan kebijakan lain seperti model deutchland, yaitu bagaimana mengatur kooperasi modal untuk menjalankan industrialisasi apakah membiarkan kekuatan kapitalis untuk mengatur pasar, atau diperlukan keputusan pemerintah dalam mengatur jalannya pasar (Biesinger 2006). Melihat hal ini, maksud Jerman Barat dapat dinilai positif, ingin memperkuat perekonomian Jerman Timur memberikan persoalan lain seperti belum siapnya Jerman Timur menerima keterbukaan pasar yang sangat berbeda dengan masa Uni Soviet.


Di lain sisi, banyak ahli melihat banyak keuntungan yang dapat diambil dari reunifikasi. Diantaranya adalah kenaikan gaji buruh yang melonjak hingga 58% hasil dari bargainng industri secara kolektif. Hal itu kemudian di kritik, bahwa pemberian keuntungan secara sosial perlu dikurangi di tahun 1998. Terjadi defisit anggaran federal dan justru kenaikan jumlah angka pengangguran 11.3% (Biesinger 2006). Melihat hal ini, pemerintah Jerman Barat yang dipimpin Kanselir Kohl banyak melakukan percobaan untuk menaikan perekonomian Jerman secara keseluruhan, ada indikasi modernisasi Jerman Timur saat itu.


Program lain oleh pemerintah Kohl adalah program austerity, yaitu mereduksi pembayaran jaminan sakit dan garansi pekerjaan. Pemerintah juga memulai membuat perusahaan public bernama Lufthansa dan perusahaan lainnya seperti maskapai penerbangan, kereta api, kantor pos yang mulai dimilik sejak abad 19. Walaupun investor campur tangan, namun negara terus mendorong pertumbuhan ekonomi sampai saat ini


2.7.2 Pasca Reunifikasi dalam Aspek Politik dan Sosial


Pada 18 Maret, terjadi pemilihan umun pertama kali di Jerman Timur, aliansi utamanya adalah Christian Democratic Union (CDU), The Democratic Awakening (DA), German Social Union (GSU) (Dias 1991). Kohl, sebagai pemenang pemilihan 1990 dan 1994 harus menghadapi negara yang baru menyatu ini. Kohl berjanji untuk tidak menumbuhkan pajak baru, namun justru meningkatkan pajak akibat dari korupsi yang terjadi pada koalisinya. Masalah lain yang muncul adalah adanya arus pengungsi ke Jerman, akibat dari terbukanya arus pengungsi oleh pemerintahan liberal. Hanya saja, di Jerman masih banyak gelombang Neo-Nazi yang kemudian melakukan pembunuhan terhadap warga asing, terjadi pada 23 November 1992, di kota Moelin yang menewaskan 3 orang imigran turki yang dibunuh melalui bom. Neo Nazi ini berkembang dan selalu menjadi oposisi (Biesinger 2006).


Secara sosial, perubahan reunifikasi yang memaksakan kapitalisme dan memasukkan liberalisme ke Jerman Timur membuat krisis identitas terjadi disana. Ketika Jerman Timur menolak dan melepaskan diri dari komunis, Jerman Barat tidak menganggap mereka setara dan dapat bekerja sama menjadi satu kesatuan, melainkan menganggap mereka sebagai saudara yang terbelakang, walaupun Jerman Timur bersedia untuk penyatuan, namun yang terjadi di dalam kehidupan social adalah pengaturan terhadap Jerman Timur dan terlihat seperti Jerman Barat mengkoloni Jerman Timur (Biesinger 2006). Hal tersebut tentunya membutuhkan proses, Jerman timur yang baru saja menolak komunis dan Jerman Barat yang sudah lama menata menjadi liberal, membutuhkan proses penyatuan mereka, walaupun kebanyakan anatar kedua kubu bersaudara/ berketurunan sama.


Ratifikasi mengenai penyatuan dan two plus four yang dikatakan bahwa Jerman bertanggung jawab atas perang dunia ke 2. Selain itu, Jerman juga harus membangun kekuasaan militer bersama baik hubungan internal maupun eksternalnya (Biesinger 2006). Memilih aliansi dalam memperkuat militer, Jerman kemudian melakukan perjanjian bersama Moscow setelah reunifikasi bahwasanya Jerman bebas memilik aliansi militernya. Hal lain yang tertera adalah pembatasan senjata nuklir dan biologi, pembatasan pasukan militer. Keputusan Gorbachev akan aliansi militer Jerman membuka peluang NATO, bahwasanya mereka dapat melindungi tidak hanya dari segi militer namun juga politik. Akhirnya, Jerman menerima undangan di warsaw pact dan bergabung dengan aliasni NATO (Dias 1991).


Pemerintahan Jerman yang kemudian dipimpin oleh Schroeder, melihat bahwa perekonomian Jerman terjun payung. Pada 2003, tejadi perumusan mengani welfare system yang saat ini digunakan Jerman. Sistem ini meliputi jaminan kesehatan, gaji pengangguran dan pensiunan yang ditanggung pemerintah. Schroder sendiri mengalami kesulitan mengatur partainya, yaitu SPD yang kemudian perlu bersaing dengan Dr. Angela Merkel. Kemudia Dr. Merkel memenangkan pemilu dan memimpin dengan 6 mentri dri partainya dan 8 mentri dari SPD (Biesinger 2006). Kestabila pemerinta, politik dan militer mulai terbangun dan perbaikan perekonomian Jerman mulai terlihat.



 

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan paparan diatas, kelompok kami menyimpulkan bahwa identitas Jerman terbentuk melalui alur historis yang panjang dan rumit hingga bisa menjadi negara bangsa seperti sekarang. Perjanjian Westphalia membuka jalan bagi terbentuknya konsepsi negara bangsa dan kecakapan Otto von Bismarck dalam menyatukan baden-baden di Jerman pada masa Kekaisaran Jerman menjadi salah satu faktor penting yang berhasil menyatukan Jerman sampai sekarang, walaupun sudah mengalami pemisahan akibat Perang Dunia II. Namun, patut diingat juga peristiwa kelam seperti peperangan, wabah penyakit dan sebagainya juga memiliki dampak dalam membentuk negara Jerman hingga seperti sekarang.





Daftar Pustaka

Biesinger, Jolseph A. Guide to Germany: A Refferance from Rennaissance to The Present. New York: Facts On Files, 2006.


Black, Jeremy. 2010. A History of Diplomacy. London: Reaktion Books Ltd.


Brose, Eric Dorn. 2014. "German History 1789-1871 From the Holy Roman Empire to the Bismarckian Reich-Berghahn." Chapter 5: German Confederation and Conservatism Triumphant. Berghahn Books.


Dias, Jessica Theresa. “The German Reunification.” Pakistan Institute of Internationa Affair, 1991. http://www.jstor.org/stable/4139458.


Dwayer, Philip G. 2001. The Rise of Prussia. Routledge.


Estep, William R. 1986. Renaissance and Reformation. Michigan: William B. Eedmans


Firman, Tony. 2017. Serangan Jerman ke Polandia Sulut Perang Dunia II. Tirto.id. https://tirto.id/serangan-jerman-ke-polandia-sulut-perang-dunia-ii-cx1p. Diakses pada 19 Maret 2018, pukul 10.30 WIB.


Fulbrook, Mary. A History of Germany 1918-2008 (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009)


Kristiyanto, Eddy, OFM. 2004 Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius.


Lagasse, Paul. 2012. Thirty Years War [online]. Dalam http://www.infoplease.com/encyclopedia/history/thirty-years-war.html [Diakses pada 25 Maret 2018].


McElligott, Anthonh Short Oxford History (Oxford: Oxford University, 2009)


McMahon, R. J. (2003). The Cold War: a very short introduction. OUP Oxford.


Mortimer, Geoff. 2002. Eyewitness Accounts of the Thirty Years War 1618-48. New York: Palgrave. hal. 1-9.


Overy, R. J. (2014). The Origins of the Second World War. Routledge.


Polimpung, Hizkia Yosias Simon, 2010. BAB III: Psikogenealogi Negara Berdaulat Modern- Obyek Sublim Kedaulatan [online]. Dalam http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/134135- T%2027924-Psikoanalisis%20paradoks-Metodologi.pdf hal. 105-205 [Diakses pada 25 Maret 2018]


Stambrook, F. G. (1962). The Origins of the Second World War. The Australian Quarterly, 34(2), 43-53.


Schiller, Frederick. 1861. History of the Thirty Years’ War. New York: Harper & Brothers Publisher. hal. 1-3.


Sulzberger, C. L. 1985. World War II. Houghton Mifflin Harcourt.


Weinberg, G. L. (1996). Germany, Hitler, and World War II: Essays in Modern German and World History. Cambridge University Press.


Wolf, Charles, and Kamil Akramov. “Is German’s Reunification Relevant?” Rand Corporation, 2005. http://www.jstor.org/stable/10.7249/mg3330sd.15


Zalampas, M. (1989). Adolf Hitler and the Third Reich in American Magazines, 1923-1939. Popular Press.






Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman