Berusaha memberikan manfaat kepada sesama makhluk, sebelum dipanggil pulang oleh Sang Khalik.

ACEH & PERJUANGAN SYARIAT ISLAM

ACEH DAN PERJALANAN PANJANG PENEGAKAN SYARIAT ISLAM


“Itu Aceh ngapain sih pakai hukum Islam di Indonesia?”
“Aceh Besar diskriminatif dan intoleran, masa pramugari diminta pakai hijab semua.”
“Negara dalam negara nih namanya, udah ada hukum negara, kok dia pakai hukum agama?”
“Ngapain maksa orang pakai jilbab? Liat tuh banyak cewek Aceh lepas jilbab kalau udah keluar dari wilayah administratifnya.”

Tanggapan awal penulis untuk pernyataan semacam di atas adalah alangkah baiknya untuk lebih banyak membaca literatur-literatur sejarah masa lalu, agar tidak salah kaprah dalam menilai sesuatu.
.
.
Semenjak masa awal kemerdekaan Indonesia hingga masa reformasi, Aceh adalah salah satu wilayah yang penuh dengan dinamika dan pergolakan. Tuntutan untuk ditegakkannya syariat Islam adalah penyebab utama terjadinya hal tersebut. Tuntutan yang diajukan oleh pemangku kepentingan dan juga rakyat Aceh itu, bukan tanpa alasan kuat, melainkan memang ada pengalaman historis, janji politis, dan aspek budaya serta psikologis yang menggerakkan mereka guna mendapatkan “hak” yang sepantasnya diterima.
.
.
.

Hubungan Aceh dan Islam di Masa Awal

Kerajaan Aceh muncul sekitar abad ke-16, setelah runtuhnya Pasai dan Pidie. Raja pertama Aceh yang tercatat dalam rekaman sejarah bernama Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530). Sebelumnya, di wilayah utara Sumatera (wilayah Aceh saat ini), sudah pernah berdiri beberapa kerajaan. Mulai dari Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Tamiang, Kerajaan Lingga, Kerajaan Pidie, Kerajaan Islam Darussalam, dan akhirnya muncul Kerajaan Aceh Darussalam. Semuanya adalah kerajaan Islam dan memiliki sistem hukum berdasar ajaran Islam.

Saat berkuasa, Sultan Ali Mughayat Syah mengesahkan suatu undang-undang tentang Qanun Syara’ Kerajaan Aceh (struktur pemerintahan Kesultanan Aceh). Undang-undang ini mengatur tata cara pemilihan dan persyaratan untuk berbagai jabatan di Kesultanan Aceh. Selain itu, undang-undang ini juga menyatakan bahwa Kesultanan Aceh dibangun berdasar hukum, adat, reusam, dan qanun, yang semuanya di bawah naungan Syariat Islam Nabi Muhammad SAW.

Penerus dari Sultan Mughayat Syah, yaitu Alauddin Riayat Syah (Ala Al-Din), diketahui pernah mengirimkan utusan ke Kesultanan Turki Utsmaniyah untuk meminta bantuan guna memerangi Portugis, dan menyatakan bahwa raja-raja di asia tenggara siap masuk Islam dan menyebarkannya, jika Turki bisa menyelamatkan mereka dari ekspansi Portugis. Kesultanan Utsmaniyah pun mengamini permintaan Sultan Alauddin dengan mengirimkan bala tentara Turki ke wilayah Aceh dan Malaka.

Masa kejayaan Kesultanan Aceh hadir pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636). Iskandar Muda, sama seperti pendahulunya, juga pernah mengeluarkan undang-undang dasar Kerajaan Aceh, yaitu “Peraturan di Dalam Negeri Aceh Bandar Darussalam” dan lebih sering disebut sebagai “Adat Meukuta Alam”. Undang-undang atau peraturan ini mengatur tata cara pengangkatan sejumlah jabatan di wilayah Kesultanan Aceh, ketentuan bagi WNA muslim maupun non-muslim yang masuk ke Aceh, peraturan hari besar Islam, dan lain-lain. Peraturan ini menunjukkan bahwa Sultan Aceh telah mencoba memberlakukan hukum Islam dalam lingkup pemerintahan, hukum, dan adat sekaligus.
.
.

Islam, Pengobar Api Perlawanan

Pada awalnya, hubungan antara Kesultanan Aceh dengan negara-negara barat, khususnya Inggris, bisa dibilang cukup baik. Kesultanan Aceh pernah menjalin perjanjian damai dan persahabatan dengan pemerintah Inggris, yaitu atas peran Syaikh Syams Al-Din Al-Sumatrani sebagai penasihat dan mufti Kesultanan Aceh. Belanda pun awalnya tidak menyerang Aceh karena terikat perjanjian Traktat London (1824) dengan Inggris, yang intinya mengakui Aceh sebagai wilayah berdaulat. Namun, semuanya itu sirna, setelah terbit Traktat Sumatera (1871) yang menjadi legitimasi Belanda untuk melakukan ekspansi ke Aceh, yang dianggap sudah melakukan banyak penjarahan, perdagangan budak, dan serangan-serangan ke wilayah Belanda di sekitarnya.

Menghadapi serangan Belanda, ulama-lah yang berperan besar mengobarkan api perjuangan dan memantik semangat rakyat Aceh. Melalui propaganda Jihad melawan kafir dan perang fi sabilillah (perang suci), umat Islam di Aceh berbondong-bondong terjun langsung ke medan perang dengan bermodalkan iman, fanatisme, semangat, dan kecintaan akan tanah air. 

Perang berlangsung sangat panjang, dimulai dari serangan awal di tahun 1880-an hingga berakhir sekitar tahun 1910 dengan kekalahan berada di pihak Aceh. Sultan terakhir Aceh, yaitu Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah menyerah (1904) dan dibuang ke Ambon, lalu dipindahkan ke Jakarta. Selepas itu, perlawanan rakyat Aceh kepada Belanda masih terus ada hingga masa pendudukan Jepang, namun sifatnya lebih cenderung sporadis, tidak sistematis, dan parsial belaka. 

Perlu diketahui, bahwa Aceh adalah salah satu wilayah yang paling akhir ditaklukkan oleh Belanda di nusantara. Hingga tahun 1904, Aceh adalah wilayah berdaulat dengan sistem Kesultanan berdasar Islam.
.
.
Kedatangan Jepang menggantikan Belanda ke Aceh pada Maret 1942, mendapat sambutan yang sama seperti pendahulunya dari rakyat Aceh, yakni perlawanan. Muncul tokoh ulama kharismatik sekaligus kontroversial yang akan selalu diingat oleh rakyat Aceh, yaitu Teuku Muhammad Daud Beureuh. Seperti perlawanan kepada Belanda, komponen yang berperan penting dan aktif adalah para ulamanya, sementara para uleebalang dan sultan cenderung pasif, meskipun sebagian turut memberikan dukungan. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat Agustus 1945, kekuasaan ulama di wilayah Aceh semakin besar semenjak berhasil mengalahkan para uleebalang-uleebalang (raja kecil) yang cenderung memihak penjajah Belanda untuk kembali ke Indonesia, dalam perang saudara tahun 1945-1946.

Tahun 1947, atas dasar tuntutan dari rakyat Aceh, Gubernur Sumatera memberikan izin kepada Residen Aceh untuk membentuk Mahkamah Syariat, tetapi mahkamah ini hanya berkompetensi untuk mengatur prkara-perkara di bidang kekeluargaan dan waris. Aceh pernah ditetapkan sebagai provinsi di tahun 1949, namun kemudian digabung ke dalam provinsi Sumatera Utara melalui Perpu no.5 Thn 1950 dengan alasan guna tujuan administrasi. Penghilangan provinsi Aceh jelas mendapat respon dan tanggapan negatif dari rakyat Aceh. 

Di tahun yang sama, 1950, Mahkamah Syariat dan semua pengadilan Swapraja dilebur ke dalam Pengadilan Negeri. Hal ini tentu mendapat protes dan kecaman keras dari pemerintah daerah, lembaga legislatif, organisasi masyarakat, dan tentunya ulama Aceh yang merasa nilai-nilai mereka tidak dihargai. 

Padahal sebelumnya, Ir. Soekarno pernah bertemu langsung dengan Daud Beureuh (selaku Jenderal Militer Aceh) tahun 1948 dalam rangka meminta bantuan rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ir. Soekarno mengiba, dan berjanji akan memberikan otonomi penuh bagi Aceh untuk dapat menjalankan Syariat Islam, apabila negara Indonesia telah kondusif di kemudian hari (Ingat!! Ini masa-masa setelah agresi Belanda I dan menjelang jilid II, RI kocar-kacir). Permintaan Ir. Soekarno itu ditanggapi positif oleh rakyat Aceh yang benci akan penjajahan Belanda, dan mereka bersama-sama mengumpulkan uang, emas, dan hasil pertanian serta peternakan untuk disumbangkan pada republik tercinta. Hasil sumbangan rakyat Aceh dibelikan sebuah pesawat yang bernama Dakota R1-001 Seulawah. Pesawat yang mengantarkan tokoh-tokoh bangsa, termasuk Ir. Soekarno berkeliling Indonesia dan mancanegara guna melakukan konsolidasi dan pencarian dukungan atas kemerdekaan negara Indonesia.

Ternyata, berselang beberapa tahun kemudian, janji Ir. Soekarno tidak kunjung ditepati, malah Aceh digabung ke Provinsi Sumatera Utara. Kekecewaanpun tampak dari kalangan ulama dan rakyat Aceh, tidak terkecuali Daud Beureuh. Maka dari itu, muncullah gerakan DI/TII di wilayah Aceh yang kecewa dengan balasan pemerintah yang buruk kepada rakyat Aceh atas segala yang telah dikorbankan. Pemerintah mulai tersadar akan keinginan rakyat Aceh dan membentuk banyak aturan, baik Peraturan Perdana Menteri, Peraturan Daerah, dan sebagainya yang bernuansa Islam untuk membujuk pejuang DI/TII menghentikan aktivitasnya, namun tidak terlalu efektif. 

Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pimpinan Hasan Tiro di masa Orde Baru (lebih bersifat politis, ketimbang perjuangan agama), semakin memperkeruh keadaan dan menambah genting kondisi Aceh. Ditambah sikap militer yang otoriter sekaligus tindakan pemerintah yang menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, membuat rakyat Aceh semakin tertekan dan hidup dalam kondisi mencekam setiap harinya. Banyak korban sipil dan pelanggaran HAM yang terjadi, dan hal itu diakui oleh Wiranto pada 1998 ketika Orde Baru tumbang.

Ketegangan di provinsi Aceh terus berlangsung, bahkan hingga era reformasi. Semua usai, setelah adanya Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh yang paling baru diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Dan hingga hari ini, sudah banyak Qanun yang telah ditetapkan oleh Gubernur dengan persetujuan DPRA.

__________

Inti dari uraian panjang di atas adalah, "tidaklah bijak, jika kita mengusik rumah tangga orang lain yang mencoba membuat aturan di rumahnya sendiri. Terlebih lagi mereka sudah mengalami dinamika yang panjang, menyakitkan, dan penuh dengan perjuangan untuk mendapatkan hak "mengatur" tersebut. Jika itu dilakukan, sama saja dengan menyakiti hati mereka, dan berpotensi menimbulkan keretakan baru bagi persatuan yang masih seumur jagung"


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman